Jumat, 05 November 2010

Puisi Seadanya Mengenai Kepala

Puisi Seadanya Mengenai Kepala
Oleh : Emha Ainun Najib

Puisi ini ditulis oleh penyairnya dengan bahasa yang diusahakan sangat seadanya, yang kira-kira bisa dipahami oleh setiap anak yang baru mengenal sejumlah kata-kata, sebab penyair itu merasa begitu ketakutan bahwa kematiannya akan menjadi sempurna jika ternyata tak seorangpun memahami kata-katanya.

Sajak Garuda

Sajak Garuda
Oleh : Emha Ainun Najib


SELALU TERDENGAR OLEHKU SUARA,
DARI PARUH GARUDA ITU :

kalau kau hisap darah rakyatku,
akan kutagih darah itu

Rumah Cor Api

Rumah Cor Api 
Oleh : Emha Ainun Najib

demi keadilan
hukum disingkirkan
demi kebenaran
pengabulan ganti rugi dibatalkan
demi ketenteraman
air ludah harus kembali ditelan

Gadis Dan Sungai

Gadis Dan Sungai
Oleh : Emha Ainun Najib

lihatlah gadis itu, yang berjalan sendiri di pinggir sungai
lihatlah rambutnya yang panjang dan gaunnya yang kuning
bernyanyi bersama angin
cerah matanya seperti matahari, seperti pohon-pohon trembesi
wahai cobalah tebak kemana langkahnya pergi

Doa Pesakitan

Doa Pesakitan
Oleh : Emha Ainun Najib

GUSTI,
seperti kapan saja
kami para hamba
tak berada di mana-mana
melainkan di hadapan Mu jua
ini sangat sederhana
tetapi kami sering lupa
sebab mengalahkan musuh-musuh Mu
yang kecil saja, kami tak kuasa

Abracadabra, Kita Sembunyi


Abracadabra, Kita Sembunyi
Oleh : Emha Ainun Najib

abracadabra kita tiarap
karena tak ada janji peluru itu
tidak untuk ditembakkan ke jidat kita
abracadabra kita sembunyi
karena kata merdeka masih belum selesai diperdebatkan
abracadabra kita masuk liang-liang gelap
karena tak ada siapa-siapa yang menjamin apa-apa
abracadabra kita cuma bisa mabuk
sehingga kita tidak tahu bahwa kita mabuk
abracadabra kita semakin mabuk
karena setiap ingatan terlalu menusuk

Kamis, 04 November 2010

Tahajjud Cintaku

Tahajjud Cintaku
Oleh : Emha Ainun Najib





Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan

Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima

Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara

Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya

Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang


Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan

Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya

1988

Seribu Masjid Satu Jumlahnya

Seribu Masjid Satu Jumlahnya
Oleh : Emha Ainun Najib


 Satu
 Masjid itu dua macamnya
 Satu ruh, lainnya badan
 Satu di atas tanah berdiri
 Lainnya bersemayam di hati
 Tak boleh hilang salah satunyaa
 Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
 Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
 Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
 Dua
 Masjid selalu dua macamnya
 Satu terbuat dari bata dan logam
 Lainnya tak terperi
 Karena sejati
 Tiga
 Masjid batu bata
 Berdiri di mana-mana
 Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
 Timbul tenggelam antara ada dan tiada
 Mungkin di hati kita
 Di dalam jiwa, di pusat sukma
 Membisikkannama Allah ta'ala
 Kita diajari mengenali-Nya
 Di dalam masjid batu bata
 Kita melangkah, kemudian bersujud
 Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
 Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
 Empat
 Sangat mahal biaya masjid badan
 Padahal temboknya berlumut karena hujan
 Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
  Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
 Masjid badan gmpang binasa
 Matahari mengelupas warnanya
 Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
 Oleh gempa ambruk dindingnya
 Masjid ruh mengabadi
 Pisau tak sanggup menikamnya
 Senapan tak bisa membidiknya
 Politik tak mampu memenjarakannya
 Lima
 Masjid ruh kita baw ke mana-mana
 Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
 Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
 Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
 Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
 Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
 Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
 Sebab majid ruh adalah semesta raya
 Jika kita berumah di masjid ruh
 Tak kuasa para musuh melihat kita
 Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
 Mereka menembak hanya bayangan kita
 Enam
 Masjid itu dua macamnya
 Masjid badan berdiri kaku
 Tak bisa digenggam
 Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
 Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
 Melampaui ujung waktu nun di sana
 Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
 Hinggap di keharibaan cinta-Nya
 Tujuh
 Masjid itu dua macamnya
 Orang yang hanya punya masjid pertama
 Segera mati sebelum membusuk dagingnya
 Karena kiblatnya hanya batu berhala
 Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
 Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
 Tidak memiliki tanah pijakan
 Sehingga kakinya gagal berjalan
 Maka hanya bagi orang yang waspada
 Dua masjid menjadi satu jumlahnya
 Syariat dan hakikat
 Menyatu dalam tarikat ke makrifat
 Delapan
 Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
 Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
 Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
 Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
 Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
 Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
 Itu sekedar pertengkaran suami istri
 Untuk memperoleh kemesraan kembali
 Para pemimpin saling bercuriga
 Kelompok satu mengafirkan lainnya
 Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
 Sambil menggali penemuan model imamah
 Sembilan
 Seribu masjid dibangun
 Seribu lainnya didirikan
 Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
 Tagihan masa depan kita cicilkan
 Seribu orang mendirikan satu masjid badan
 Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
 Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
 Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
 Bergetar menyatu sejumlah Allah
 Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
 Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
 Allah itu mustahil kalah
 Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
 Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
 Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!
 
 
1987
 

Sepenggal Puisi Cak Nun

Sepenggal Puisi Cak Nun   
Oleh : Emha Ainun Najib



     sayang sayang kita tak tau kemana pergi
     tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
     langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
     yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri
     loyang disangka emas emasnya di buang buang
     kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
     yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
     yang penting disepelekan yang sepele diutamakan
     Allah Allah betapa busuk hidup kami
     dan masih akan membusuk lagi
     betapa gelap hari di depan kami
     mohon ayomilah kami yang kecil ini

Memecah Mengutuhkan

Memecah Mengutuhkan
Oleh : Emha Ainun Najib
   

 Kerja dan fungsi memecah manusia
 Sujud sembahyang mengutuhkannya
 Ego dan nafsu menumpas kehidupan
 Oleh cinta nyawa dikembalikan
 Lengan tanganmu tanggal sebelah
 Karena siang hari politik yang gerah
 Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
 Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu
 Suami dan istri tak saling mengabdi
 Tak mengalahkan atau memenangi
 Keduanya adalah sahabat bergandengan tangan
 Bersama-sama mengarungi jejeak Tuhan
 Kalau berpcu mempersaingkan hari esok
 Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
 Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
 Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia
 
   1987
 

Kudekap Kusayang-sayang

Kudekap Kusayang-sayang 
Oleh : Emha Ainun Naijb

Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.
 
1994
(Dari Kumpulan sajak Abracadabra Kita Ngumpet,
Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta, 1994, halaman 7)
Republika, 24 Januari 1999

Kita Masuki Pasar Riba

Kita Masuki Pasar Riba
Oleh : Emha Ainun Najib
   

 Kita pasar r iba
 Medan perang keserakahan
 Seperti  ikan dalam air tenggelam
 Tak bisa ambil jarak
 Tak tahu langit
 Ke kiri dosa ke kanan dusta
 Bernapas air
 Makan minum air
 Darah riba mengalir
 Kita masuki pasar riba
 Menjual diri dan Tuhan
 Untuk membeli hidup yang picisan
 Telanjur jadi uang recehan
 Dari putaran riba politik dan ekonomi
   Sistem yang membunuh sebelum mati
   Siapakah kita ?
   Wajah  tak menentu jenisnya
   Tiap saat berganti nama
   Tegantung kepentingannya apa
   Tergantung rugi atu laba
   Kita pilih kepada siapa tertawa
 
       1987

Ketika Engkau Bersembahyang

Ketika Engkau Bersembahyang
Oleh : Emha Ainun Najib




 Ketika engkau bersembahyang
 Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
 Partikel udara dan ruang hampa bergetar
 Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
 Bacaan Al-Fatihah dan surah
 Membuat kegelapan terbuka matanya
 Setiap doa dan pernyataan pasrah
 Membentangkan jembatan cahaya
 Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
 Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
 Kemudian mim sujudmu menangis
 Di dalam cinta Allah hati gerimis
 Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
 Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
 Ilmu dan peradaban takkan sampai
 Kepada asal mula setiap jiwa kembali
 Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
 Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
 Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
 Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
 Sembahyang di atas sajadah cahaya
 Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
 Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
 Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
 Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
 Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
 Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
 Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan
 
 
1987

Ikrar

Ikrar    
Oleh : Emha Ainun Najib

 
Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu Kuambil siakp, total dan tuntas
maka getaranku
Adalah getaran-Mu
lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia
Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu
Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan
Kugenggam kamu
Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama
 
 
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997

Doa Sehelai Daun Kering

Doa Sehelai Daun Kering
Oleh : Emha Ainun Najib



Janganku suaraku, ya 'Aziz

Sedangkan firmanMupun diabaikan

Jangankan ucapanku, ya Qawiy

Sedangkan ayatMupun disepelekan

Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah

Sedangkan kasih sayangMupun dibuang

Jangankan sapaanku, ya Matin

Sedangkan solusi tawaranMupun diremehkan

Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka

Sedangkan jasa penciptaanMupun dihapus

Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka

Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban

Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati

Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali

Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti

Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu

Sedangkan IbrahimMu dibakar

Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut

Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian

Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir



Wahai Jabbar Mutakabbir

Engkau Maha Agung dan aku kerdil

Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan

Engkau Maha Kuat dan aku lemah

Engkau Maha Kaya dan aku papa

Engkau Maha Suci dan aku kumuh

Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya

Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar

Rasul kekasihMu maĆ­shum dan aku bergelimang hawaĆ­

Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab

Wahai Mannan wahai Karim

Wahai Fattah wahai Halim

Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu

Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu

Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMu



Emha Ainun Nadjib Jakarta 11 Pebruari 1999

Ditanyakan Kepadanya

Ditanyakan Kepadanya
Oleh : Emha Ainun Najib



 Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
 Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
 Tak demikian Allah menata
 Maka berdusta ia
 Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
 Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
 Tak demikian sunnatullah  berkata
 Maka cerdusta ia
 Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
 Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
 Menjadi kacaulah sistem alam semesta
 Maka berdusta ia
 Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
 Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
 Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
 Maka berdusta ia
 Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
 Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
 Burung Allah tak sedia bunuh diri
 Maka berdusta ia
 Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
 Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
 Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
 Maka berdusta ia
 Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
 Ialah air yang mengalir ke angkasa
 Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
 Maka berdusta ia
 Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
 Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
 Orang wajib menebangnya
 Agar tak berdusta ia
 Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
 Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
 Orang harus menggertak jiwanya
 Agar tak berdusta ia
 Kemudian siapakah pedagang penyihir
 Ialah kijang kencana berlari di atas air
 Orang harus meninggalkannya
 Agar tak berdusta ia
 Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
 Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
 Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
 Agar tak berdusta ia
 Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
 Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
 Nyanyikan puisi di telinganya
 Agar tak berdusta ia
 
         1988

Dari Bentangan Langit

Dari Bentangan Langit  
Oleh : Emha Ainun Najib

   
Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
 
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997

Begitu Engkau Bersujud

Begitu Engkau Bersujud
Oleh : Emha Ainun Najib

 
 Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang
  yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
 Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
  pula telah engkau dirikan masjid
 Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
  telah kau bengun selama hidupmu?
 Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
  meninggi, menembus langit, memasuki
  alam makrifat
 Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
  bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
 Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
  ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
 Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
  ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
 Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
  cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
  adzan
 Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
 Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
  Allah, engkaulah kiblat
 Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
  didengar Allah, engkaulah tilawah suci
 Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
  Allah, engkaulah ayatullah
 Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
  karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
  dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
  menjadilah engkau masjid
 
 
 
          1987
 
 

Antara Tiga Kota

Antara Tiga Kota
Oleh : Emha Ainun Najib

 
  
di yogya aku lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Jakrta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu
kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga
surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya
kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
 
 
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997